Namun, yang jadi masalah ialah tentang pergeseran dikotomi ilmu sehingga terjadi pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, antara kehidupan dunia dan akhirat. Praktisi dan lembaga pendidikan telah menciptakan cara pandang yang salah terhadap kemajuan bangsa. Di antaranya dengan mengukur kemajuan semata-mata dimaknai sebagai kemajuan dalam sisi materi, khususnya dalam ekonomi, sains, dan teknologi. Mereka telah membuang sisi penting dari sebuah peradaban manusia, yaitu nilai agama dan akhlak. Salah satunya akibat dari bias peradaban dunia Barat sebagai menara sekularisasi dunia.

Pendidikan kini lebih mengarah ke target-target ekonomi. Nyaris semua perguruan tinggi menunjukkan pola yang sama, yaitu menjanjikan kemudahan mendapat kerja setelah lulus nanti. Untuk mencapai itu, kurikulum pun dibuat dengan dominasi program pengembangan potensi intelektual dan ketrampilan saja. Sementara itu, pendidikan yang membina kepribadian atau karakter mahasiswa malah terabaikan. Akibatnya, sistem pendidikan materialistis ini tidak mampu mencetak manusia seutuhnya, karena nilainya telah dikerdilkan.

Manusia dididik hanya untuk menjadi pekerja dalam industri, perdagangan, atau pemerintahan. Padahal dalam diri manusia juga terdapat potensi luhur yang perlu dibina, seperti kesalehan, keyakinan, keberanian, amanah, kasih sayang, kejujuran, kepahlawanan, kerendahan hati, kedermawanan, kepedulian, kegigihan, ikhlas, serta kesabaran. Jika nilai-nilai ini tidak ditanamkan, yang akan tumbuh adalah nilai-nilai kebalikannya yang dapat merusak, seperti serakah, sombong, tidak punya kepedulian, pemalas tapi ingin besar, kikir, curang, khianat, pengecut, penipu, dan suka menindas.

Apabila orang seperti itu memiliki ketrampilan dan pengetahuan tinggi, ada kemungkinan mereka akan menggunakannya untuk melakukan kejahatan. Jabatan yang seharusnya untuk berbakti untuk kepentingan orang banyak, justru digunakan secara tidak adil demi kepentingannya sendiri. Buktinya, banyak kasus terjadi adanya penegak hukum yang semestinya harus menegakkan hukum ternyata harus dihukum, para pendidik yang semestinya mendidik malah harus dididik, para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah korupsi, para wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat malah berkhianat, siswa sekolah dan mahasiswa sebagai calon pemimpin masyarakat malah tawuran, dan lain sebagainya.

Jika memang sudah demikian, adakah solusinya? Di sinilah perlunya rekonstruksi pendidikan yang seimbang, baik, dan benar sesuai fitrah manusia melalui tuntunan Allah SWT dan Rasulullah saw. Yakni sebagaimana yang akan dibahas oleh Dr. Wendi Zarman di dalam buku “Inilah! Wasiat Nabi bagi Para Penuntut Ilmu”. Beliau akan mengurai semua problematika manusia dalam bingkai ilmu yang tidak tepat dalam memahami dan menerapkannya. Dalam sorotan penulis, manusia telah terjebak oleh intelektualitasnya sendiri yang didorong hawa nafsu sehingga menciptakan manusia dan peradabannya yang tidak manusiawi dan jauh dari nilai-nilai ilahiyah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah.

Buku ini merupakan buku kedua penulis yang diterbitkan RuangKata. Penulis akan mengurai seluk-beluk ilmu, seperti apa arti ilmu, keutamaan ilmu, tujuan menuntut ilmu, cara memperoleh ilmu, tingkatan ilmu, adab menuntut ilmu, kekeliruan mengenai ilmu, hubungan ilmu dan kehidupan, pengembangan ilmu Islami, memaknai ilmu menurut cara pandang Islam, teladan ulama dalam menuntut ilmu, dan lain sebagainya.

Buku ini sangat penting dibaca oleh para pelajar, guru, akademisi, orangtua, dan umat Islam pada umumnya untuk mendapatkan cara pandang yang lurus tentang ilmu. Pasalnya, dunia Islam sedang dibelokkan oleh peradaban barat sehingga cenderung hampir tersesat. Singkatnya, jika kita peduli terhadap nasib umat Islam, buku ini akan sangat membantu Anda untuk menemukan jalan ilmu yang benar menurut Islam tanpa membuang aspek kemajuan zaman di bidang ekonomi, sains, teknologi, dan lain-lain.