Salah satunya adalah stigma yang bersumber dari sebuah hadits yang cukup populer, dari sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa wanita memiliki kekurangan dalam akal dan agamanya.
“… Saya tidak melihat para perempuan yang akal dan agamanya kurang, mampu menghilangkan akal seorang pria yang teguh hati, melebihi salah satu dari kalian.” Mereka bertanya, “Apakah kekurangan akal dan agama kami, ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Bukankah kesaksian seorang perempuan sama dengan setengah kesaksian pria?” Mereka menjawab, “Ya.” Rasul berkata, “Itu merupakan kekurangan akalnya.” Bukankah jika seorang perempuan haidh maka ia tidak shalat dan tidak puasa?” Mereka menjawab, “Ya.” Rasul berkata, “Itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari Muslim).
Pada level teologis, hadits ini dianggap sebagai statemen ilahiyah yang mengukuhkan supremasi pria atas wanita. Sementara itu, di tingkat realitas, hadits ini menjadi argumen ampuh untuk menomorduakan dan meminggirkan wanita dari kehidupan yang dianggap memerlukan “akal” lebih banyak. Ironisnya, pada saat yang sama, wanita sendiri menumbuhkan kesadarannya sendiri bahwa posisinya memang selalu nomor dua dan selalu kekurangan akal.
Padahal, tidaklah demikian. Hadits tersebut bukan merupakan ketetapan dan justifikasi Nabi atas rendahnya nilai wanita. Pernyataan “kurang akal” tersebut bukanlah norma yang sifatnya mutlak dan melekat pada diri setiap wanita, kapan pun di mana pun, tetapi sebuah “peringatan” dari Nabi yang didasarkan atas realitas sosial wanita yang ada. Kurangnya akal pada mata hadits tersebut tidak bisa dipahami bahwa wanita itu ditakdirkan selalu lebih bodoh, tidak kuat ingatannya, kurang akurat kesaksiannya, dan sebagainya. Kurangnya akal ini lebih merupakan dampak yang tidak terhindarkan oleh sebagian besar wanita, karena mereka harus mengikuti sistem sosial dan budaya yang membatasi mereka untuk memaksimalkan potensi akalnya.
Dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi. Sejarah telah membuktikan, terdapat banyak wanita yang terlibat pada persoalan politik praktis. Misalnya, Ummu Hani yang memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik ketika masa Rasulullah. Bahkan, istri Nabi SAW, Aisyah memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara.
Wanita memang diciptakan berbeda dengan laki-laki. Begitu pula dengan nilai keunggulan dan keajaiban yang dimilikinya secara tersendiri, yang bahkan tidak dimiliki oleh laki-laki. Apakah kelebihan-kelebihannya tersebut? Di antaranya, wanita memiliki fisik yang kuat, wanita mampu memadukan peran domestik dan publik, memiliki otak cerdas, memiliki kecerdasan finansial, lebih sabar dalam menghadapi ujian, dan pandai merawat diri. Benarkah demikian?
Buku Ternyata Wanita Bukan Makhluk Lemah terbitan Ruang Kata ini akan membeberkannya kepada Anda secara lengkap dengan sebuah penjelasan yang logis dan faktual. Artinya, Anda tidak hanya mendapati sebuah penjelasan filosofis, tapi juga berdasarkan bukti-bukti yang diperkuat dengan fakta di lapangan bahwa memang wanita itu benar-benar ajaib dan memiliki keunggulan istimewa dibandingkan dengan laki-laki.
Hj. Iis Nuraeni Afgandi dan Novi Hidayati Afsari menulis buku ini secara ramah bagi pembacanya dengan beberapa sodoran motivasi agar wanita bisa mengenali potensi-potensi dirinya dan mendobrak stigma-stigma negatif yang dialamatkan kepada kaum Hawa. Ia membuka buku ini dengan aneka pertanyaan seputar stigma perempuan untuk membuka pola pikir kaum wanita dan laki-laki, mulai dari apakah benar wanita diciptakan dari tulang rusuk pria? Benarkah wanita sumber fitnah? Benarkah wanita lebih banyak masuk neraka? Hingga seputar opini bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin.
Kemudian, ia melanjutkannya dengan segudang kelebihan yang dimiliki wanita dan figur-figur wanita muslim paling hebat sepanjang sejarah. Penulis juga melengkapinya dengan jurus ampuh menjadi wanita hebat dan disertai doa-doa khusus agar menjadi wanita hebat. Alhasil, buku ini bisa menghantarkan pembaca untuk menggapai harapan penulisnya agar kaum wanita dapat lebih menghargai dirinya sendiri serta mensyukuri kelebihan-kelebihan yang melekat pada dirinya.